Minggu, 07 Oktober 2012

Aspek-Aspek Kriminologi Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)

     Kejahatan mayantara (Cryber Crime) telah menunjukan tampilan riilnya dalam jagat teknologi canggih misalnya internet ataupun komputer.
Realitas ini menunjukan bahwa tawaran kemajuan diera globalisasi, selain mendatangkan keuntungan nilai -nilai positif, juga mengandung muatan yang membahayakan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.

    Problem pelanggaran hukum atau dengan nama lain" kejahatan "merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat. Maka dari itu hukum sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk menjadi lawan utama dari kejahatan atau hukum esensinya merupakan norma suci yang terbaik bagi masyarakat.

    Ada beberapa aspek kriminologi kejahatan dunia maya(Cyber Crime):

   1. Kriminologi
       Kejahatan terus berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia, dengan kualitas dan kuantitasnya kompleks dengan variasi modus operandinya. J.E. Sshetapy telah menyatakan dalam tulisannya, kejahatan erat kaitannya dan bahkan menjadi bagian dari hasil budaya itu sendiri. Ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu terbentuk. sifat dan cara pelaksanaanya. " Wahid, Abdul (2002). Kriminologi dan Kejahatan kontemporer".
      Dari berbagai definisi tentang kriminologi dapat disimpulkan bahwa kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan masalah kejahatan, termasuk keseluruhan fenomena atau gejala-gejala sosial yang berhubungan dengan kejahatan

 2. Kejahatan
     Secara empiris definisi kejahatan dapat dilihat dari dua perspektif,pertama adalah kejahatan dalam perspektif yuridis, kejahatan dirumuskan sebagai perbuatan yang oleh negara di beri pidana. pemberian pidana ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu oleh perbuatan itu. Perbuatan yang demikian dalam ilmu hukum pidana biasa disebut dengan tindak pidana (straftbaarfeit).
     Kedua, kejahatan dalam arti perspektif sosiologis(kriminologis) merupakan suatu perbuatan yang dari sisi sosiologis merupakan kejahatan sedangkan dari segi yuridis(hukum positif) bukan merupakan suatu kejahatan. Yang artinya perbuatan tersebut oleh negara tidak dijatuhi pidana.
Perbuatan ini dalam ilmu pidana disebut dengan straftwaardig, artinya perbuatan tersebut patut atau pantas dipidana.

  3. Kejahatan Mayantara(Cyber Crime)
      Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet ini sering disebut Cyber Crime. Dari pengertian ini tampak bahwa cyber crime mencakup semua jenis kejahatan beserta modus operandinya yang dilakukan sebagai dampak negatif aplikasi internet. Dalam definisi ini mencakup segala kejahatan yang dalam modus operandinya menggunakan fasilitas internet.
Dengan demikian, pendapat yang mengidentikan cyber crime dengan computer crime dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan pemaknaan komputer yang diperluas seperti pengertian diatas.
Pengertian yang membedakan antara cyber crime dengan computer crime diajukan oleh Nazura Abdul Manap sebagai berikut :
Dimana kejahatan komputer dapat meliputi lingkup luas bermacam-macam pelanggaran, aktivitas atau isu kriminal. Ini dikenal dengan kejahatan yang dilakukan dengan komputer sebagai alat dan melibatkan hubungan langsung antara kriminal dan komputer. Sebagia contoh pegawai bank yang tidak jujur yang secara tidak sah mentransfer uang konsumen kepada akun -tidur untuk kepentingannya sendiri atau orang yang tanpa ijin memperoleh akses terhadap komputer orang lain secara langsung untuk mendownload informasi. Situasi ini membutuhkan akses langsung oleh hacker kepada komputer korban. Tidak ada saluran internet yang terlibat atau hanya menggunakan jaringan terbatas seperti LAN ( Local Area Network).
Dimana kejahatan cyber adalah kejahatan yang dilakukan secara virtual melalui internet online. Ini berarti bahwa kejahatan yang dilakukan dapat berkembang ke negara lain.

  4. Teori-teori Kriminologi
      Berikut ini diuraikan secara singkat beberapa  teori kriminologi dari para kriminolog terkemuka :
 Pertama, adalah teori Anomi. Konsep anomi ini sering diterjemahkan sebagai "Normlessness".
   Kedua. teori bio-sosiologis. Teori ini merupakan integrasi atau pengkombinasian dari mazhzaab (teori) biologis-antropologis dengan mazhab sosiologis. teori ini dibangun oleh Enrico Ferri, dengan menekankan bahwa kejahatan. terjadi karena adanya hubungan yang erat antara faktor fisik, antropologis dan sosial (Vold, 1979:42);


  • Faktor-faktor fisik : suku bangsa, iklim, letak geografis, pengaruh-pengaruh musim, temperatur, dan sebagainya.
  • faktor-faktor antropologis : umur, kelamin, kondisi-kondisi organis, kondisi-kondisi psikologis, dan sebagainya.
  • Faktor-faktor sosial : rapatnya penduduk, kebiasaan, susunan pemerintahan, kondisi-kondisi ekonomis, kondisi-kondisi industri, dan sebagainya.
Jadi kejahatan bukan hanya disebabkan karena individu terlahir menjadi seorang penjahat, tetapi juga karena faktor-faktor lain yang ada disekitar orang-orang tersebut. Teori ini didukung oleh konsep Anatomi Durkheim yang menjelaskan bahwa penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh karena kondisi ekonomi dalam masyarakat. 




    Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Kejahatan

1.   Aspek-aspek Hukum Pidana

     Manusia dalam hidupnya membutuhkan orang lain dalam berbagai aktivitasnya. Kondisi manusia yang demikian mendorong manusia untuk berinterkasi dengan manusia lainnya. 
Disamping sebagai makhluk sosial, manusia juga mempunyai status sebagai individu. Sebagai makhluk individu manusia mempunyai watak,pembawaan, kepentingan maupun kebutuhan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan ini pada gilirannya dapat mengakibatnya benturan-benturan dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Benturan-benturan tang terjadi apabila tidak terselesaikan pada akhirnyaakan mengancam kelangsungan hidup masyarakat atau persatuan manusia yang terbentuk. Dalam artian ketertiban hidup bermasyarakat dan keamanan akan sangat terganggu. 
    Asas hukum mempunyai dua fungsi, fungsi hukum dan fungsi dalam ilmu hukum.
Pertama, asas dalam hukum mendasarkan eksistensinyapada rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim(ini merupakan fungsi yang bersifat mengesahkan) serta mempunyai pengaruh normatif yang mengikat para pihak(Sudikno Mertokusumo, 1986:10).
Fungsi yang kedua adalah dalam ilmu hukum, asas ini hanya bersifat mengatur dan eksplikatif. Tujuannya  adalah memberi ikhtisar, tidak normatif sifatnya dan tidak termasuk hukum positif.( Sudikno Mertokusumo, 1995: 36).

Hukum pidana juga mengenal asas berlakunya hukum pidana berhubungan dengan tempat, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 9 KUHP. Asas-asas tersebut ialah:

a. Asas teritorial
   Yang dimaksud dengan asas teritorial ini adalah bahwa undang-undang pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang hyang melakukan suatu pelanggaran /kejahatan didalam wilayah Republik Indonesia. Asas ini tertuang dalam KUHP Pasal 2 dan 3.

b. Asas nasional aktif

   Asas yang mengandung pengertian bahwa undang-undang pidana Indonesia berlaku juga bagi warga negara Indonesia yang berada diluar negeri. Hal ini diatur dalam KUHP Pasal 5 ayat(1) sub 1.

c. Asas nasional pasif

   Asas ini mengandung pengeertian bahwa undang-undang pidana Indonesia berkuasa juga mengadakan penuntutan terhadap siapapun juga diluar negara republik Indonesia juga terhadap orang asing diluar RI.

d. Asas universal

    Undang-undang pidana Indonesia dapat juga diberlakukan terhadap perbuatan-perbuatan jahat yang  bersifat merugikan keselamatan internasional yang terjadi dalam daerah tak bertuan. (CST. Kansil, 1989:227-279).

2.  Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulanagan Kejahatan

     A. mulder mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan:


  • Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbarui.
  • Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
  • Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan(Al Wisnubroto, 1999:12).
Dari definisi Mulder tersebut tampak hukum pidana sebagai sebuah sistem. Dengan demikian objek kebijakan hukum pidana mencakup hukum pidana arti formil dan materiil. 


     Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) dalam Perspektif Hukum Pidana

1. Kejahatan mayantara (Cyber Crime) dalam perspektif Hukum Pidana Positif

    Kelebihan kejahatan ini antara lain yaitu, pertama orang yang dapat melakukan kejahatan jenis ini sudah barang tentu dapat melakukan kejahatan  cyber crime yang lain.  Kedua, secara teknis imbas dari aktivitas hacking kulaitas yang dihasilkannya lebih serius jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk cyber crime yang lain. Untuk menyebarkan gambar porno atau cyber phornography tidak perlu memiliki kemampuan hacking, cukup kemampuan minimal tentang internet(Agus Raharjo, 2002: 200). 
       Heacker secara umum adalah orang yang mengakses suatu sistem komputer dengan suatu cara yang tidak sah atau salah. Perbuatan ini biasanya diawali rasa keingin tahuan, kekaguman, dan terakhir adalah adanya suatu tantangan yang ditujukan terhadap suatu sistem komputer (Edmon Makarim, 2003 : 401).
Dalam KUHP hal ini diatur dalam pasal 167. Pasal 167 KUHP menyatakan:

   (1)  Barang siapa dengan melawan hak orang lain dengan memaksa kedalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan, yang dipakai orang lain, atau sedang ada disitu dengan tidak ada haknya, tidak dengan segera pergi dari tempat itu atas permintaan orang yang berhak,dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.000,00

   (2)   Barang siapa masuk dengan memecah atau memanjat, memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakain dinas palsu, atau barang siapa dengan tidak setahu yang berhak dan lain daripada lantaran keliru, masuk ketempat yang tersebut tadi dan kedapatan disana pada waktu malam, dianggap sebagai sudah masuk dengan memaksa.(R. Soesilo, 1994: 143).

2. Pembuktian Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)

    Dalam hukum pembuktian perkara pidana ada perbedaan diantara berbagai negara. Negara yang satu dengan yang lainnya menerapkan sistem pembuktian yang berbeda. Demikian pula alat bukti yang dipakai juga berbeda. 
     Kalau didasarkan pada teori-teori pembuktian, KUHP dikategorikan sebagai penganut sistem atau teori pembuktian beerdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijke) (Andi Hamzah, 1996 :262).

       Pasal 183 KUHP menyatakan:

"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya."

Disamping itu dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 14 Tahun  1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman juga menyatakan senada:


" Tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dapat dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya".


Dari ketentuan dalam pasal kedua pasal tersebut bahwa pembuktian dalam perkara pidana ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu adanya keyakinan hakim dan keyakinan tersebut harus didasarkan pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini KUHP.



Sedangkan dalam KUHP  pasal 184 yang dimaksud dengan alat bukti(1)
 Alat bukti yang sah ialah :
  •       Keterangan saksi;
  •       Keterangan ahli;
  •       Surat;
  •       Petunjuk;
  •       Keterangan terdakwa.


Dalam hal ini dengan pembuktian kejahatan mayantara (cyber crime) yang menjadi persoalan sangat sulit ialah saksi melihat aktivitas kejahatan tersebut, mengingat dilakukan secara virtual yang akan sulit sekali untuk dilihat kapan dan bagaimana pelaku berbuat kecurangan. Dan pelaku biasanya melakukan hal ini seorang diri, karena bagi mereka perbuatan tersebut membutuhkan ketenangan dan kreatifitas yang tinggi dalam menggunakan sebuah komputer. Kondisi tersebut mengakibatkan sulitnya keterangan yang mempunyai nilai kesaksian dalam hukum.
 Sebagai Contoh Kasus

Pada tahun 1982 telah terjadi penggelapan uang di bank melalui komputer sebagaimana diberitakan  “Suara Pembaharuan “edisi 10  Januari1991 tentang dua mahasiswa yang membobol uang dari sebuah Bank swasta di Jakarta sebanyak RP. 372. 100. 000,00 dengan menggunakan sarana komputer.
Perkembangan lebih lanjut dari teknologi komputer berupa komputer network yang suatu kemudian melahirkan suatu ruang komunikasi dan informasi global yang dikenal dengan internet.
Analisa kasus 
Kasus ini modusnya adalah murni kriminal, kejahatan jenis ini biasanya menggunakan internet hanya sebagai sarana kejahatan. Sebaiknya internet digunakan untuk kepentingan yang bermanfaat , dan tidak merugikan orang lain.
Penyelesaiannya, karena kejahatan ini termasuk penggelapan uang pada bank dengan menggunakan komputer sebagai alat melakukan kejahatan.
Sesuai dengan undang-undang yang ada di Indonesia maka, orang tersebut diancam dengan pasal 362 KUHP tentang pencurian, mendapat sanksi hukuman penjara selama 5 tahun dan pasal 378 KUHP tentang penipuan, mendapat sanksi hukuman penjara selama 4 tahun.



Pembaharuan Hukum Pidana

Pertama, perlu diperhatikan upaya internasional dalam menanggulangi cyber crime itu sendiri sehingga terjadi sinergi antara kiat-kiat yang dilakukan untuk menanggulanginya baik secara nasional, regional maupun internasional. Dalam Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer-related crimes, mengajukan beberapa kebijakan yang antara lain menghimbau negara-negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penaggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut :
  • Melakukan modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana.
  • Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer.
  • Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga masyarakat, aparat pengadilan dan  penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer. 

Kedua, dalam rangka mengejawantahkan seruan internasional dalam menaggulangi cyber crime tersebut, hal-hal menyangkut pidana substantif yang perlu diubah adalah konsep pertanggung jawaban pidana. Seperti yang diutarakan di atas bahwa pada prinsipnya pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability base on fault). Akan tetapi dalam kaitannya dengan penaggulangan cyber cirme, khusus perlindungan terhadap sistem keamanan komputer oleh lembaga penyedia jasa internet atau pejabat/petugas yang diembani tugas tersebut, selain liability base on fault terhadap para pelaku, perlu dipikirkan kemungkinan pertanggungjawaban ketat (strict liability
Ketiga, masih dalam kaitannya dengan pidana subtantif, sambil menunggu cyber law yang lebih komprehensif, kiranya perlu dilakukan penambahan beberapa ketentuan dalam KUHP yang menyangkut pencurian, penipuan, pemalsuan maupun perusakan untuk menanggulangi cyber crime yang modus operandinya tiap kali berkembang. Banyak negara telah menempuh hal yang demikian, antara lain Belanda, Canada, Denmark, Finlandia, Italia, Jerman, Perancis dan Yunani. Namun ada beberapa negara yang membuat undang-undang khusus berkaitan dengan komputer, seperti Israel dan Inggris. Selain itu pula ada yang memasukan cyber crime  ke dalam undang-undang telekomunikasi, seperti Cina
 Keempat, dalam menyusun  cyber law yang berkaitan dengan penaggulangan cyber crime, kiranya dapat membandingkan dengan draft Konvensi Cyber Crime  yang dihasilkan oleh European Committee on Crime Problems Beberapa kata kunci yang menarik untuk disimak, antara lain Illegal access,Illegal interception, Data interference, System interference, Misuse of devices, computer-related forgery dan computer-related fraud.
 Kelima, Data elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Selain itu apabila kita merujuk kepada 5 alat bukti yang sah sebagaimana yang telah  diuraikan di atas, satu-satunya alat bukti yang cukup kuat dalam hal pembuktian di pengadilan terhadap perkara cyber crime adalah keterangan ahli. Sayangnya berdasarkan KUHAP,  petunjuk hanya dapat diperoleh sebagai alat bukti jika berasal dari keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa, tidak termasuk keterangan ahli. Oleh sebab itu dalam revisi KUHAP atau setidak-tidaknya dalam hukum acara yang berkaitan dengan cyber crime, perlu ditambahkan bahwa petunjuk sebagai alat bukti juga bisa diperoleh hakim dari keterangan ahli. Bahkan sangat mungkin, selain kelima alat bukti tersebut ditambah dengan data elektronik, khusus mengenai pembuktian cyber crime perlu ditambahkan alat bukti pengetahuan hakim. Artinya, hakim yang mengadili perkara-perkara tersebut, sedikit – banyaknya menguasai atau setidak-tidaknya mengetahui perihal cyber space.